Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI ANDOOLO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2023/PN Adl H. BAHASMI. A.Md Satreskrim Resor Konawe Selatan Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 27 Mar. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Adl
Tanggal Surat Senin, 27 Mar. 2023
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2023/PN Adl
Pemohon
NoNama
1H. BAHASMI. A.Md
Termohon
NoNama
1Satreskrim Resor Konawe Selatan
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

 

 

Kepada Yth.

KETUA PENGADILAN NEGERI ANDOOLO

Di –

Andoolo

 

 

Perihal : Permohonan Praperadilan

Dengan Hormat,

Kami yang bertanda tangan dibawah ini, IBRAHIM TANE, SH.,MH, RAITNO, S.H., M.Kn, BASRI, S.H.,M.Kn, & ISWAR ERTANTO. SH kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum IBRAHIM TANE. SH.,MH & PARNERS yang beralamat di Jl. Supu Yusuf, Kompleks Cempaka Mas, No. 6 E, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga, Kota Andoolo Provinsi Sulawesi Tenggara. dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 24 Maret 2023  bertindak dan untuk atas nama :

----------------------------------------H. BAHASMI. A.Md-------------------------------

Laki-laki, lahir di Wawotobi, 6 September 1960, agama Islam, yang beralamat di Jalan Dusun I, Desa Tua-Tua Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan, Pekerjaan Wiraswasta, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON PRAPERADILAN.

PEMOHON PRAPERADILAN mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap Kepolisian Resort Konawe selatan yang beralamat di Jl. Poros Ponggaluku Andoolo Desa Lerepako Kecamatan Ponggaluku Kabupaen Konawe Selatan Untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON;--------------------------------------

Untuk mengajukan permohonan Praperadilan atas  Penetapan Tersangka terhadap Pemohoan Praperadilan yang dilakukan oleh Satreskrim Polres Konawe Selatan  dalam Dugaan Tindak Pidana Penipuan yang telah ditetapkan oleh Satreskrim Polres Konawe Selatan  pada tanggal 20 Maret 2023 berdasarkan surat Nomor : S.Tap/12/III/2023/Satreskrim.

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
  1. Tindakan Upaya Paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar Hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

 

  • adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
    1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
    2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya Hukum dan keadilan;
    3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

 

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

  1. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak Hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan Hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak Hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan Hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem Hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem Hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem Hukum di Indonesia. Peristiwa Hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan Hukum” (legal-breakthrough) atau Hukum yang prorakyat (Hukum Progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan Hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan Hukum dan Hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan Hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian Hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

  1. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
    1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
    2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
    3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
    4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
    5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
    6. Dan lain sebagainya
  2. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  1. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

II.   DALIL-DALIL PERMOHOANAN PEMOHOAN.

Uraian dalil-dalil pemohoanan pemohon praperadilan sebaga berikut :

  1. Tentang pelapor tidak memiliki legalstanding sebagai pelapor.
    • Bahwa termohoan dalam melakukan pemeriksaan sampai dengan melakukan penelitian dalam perkara ini telah melanggar undang-undang dan hak asasi manusia
    • Bahwa Termohon dalam melakukan penelitian perkara dan menetapkan perkara pidana telah melanggar undang-undang dan hak asasi manusia Bahwa termohon telah melanggar KUHAP pasal 1 butir 24 yang berbunyi “Laporan diartikan sebagai pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang yang memiliki hak berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang terkait peristiwa pidana yang telah/berlangsung, atau diduga akan terjadi”. Frasa “disampaikan oleh seseorang yang memiliki hak berdasarkan undang-undang” tersebut merupakan dasar bahwa setiap laporan harus memenuhi legal standing agar laporan tersebut dapat diproses.
    • Bahwa berdasarkan bukti lapor nomor : LP/B/11/I/2023/SPKT/Polres Konsel/Polda Sultra tertanggal 16 Januari 2023, pelapor dalam perkara penipuan tertulis atas nama Frans Salim Kalalo sebagai korban.
    • Bahwa dasar dari pelaporan terlapor adalah terjadi penipuan yang dilakukan oleh pemohon berdasarkan perjanjian kerjasama peminjaman lahan milik pemohoan di desa tue-tua kecamaan laonti, yang mana didalam perjanjian tersebut pemohoan memberikan tanah miliknya untuk diperguanakan oleh pelapor dan pelapor memberikan royalty kepada pemohon.
    • Bahwa sampai saat ini tanah yang diperjanjikan oleh pelapor dan pemohoan masih digunakan terusmenerus dan tidak diserahkan kembali oleh pelapor kepada pemohoan akan tetapi pelapor tidak juga membayarkan royli pemakaian kepada pemohon sebagai kompensasi pemakaian lahan.
    • Bahwa pelapor beralasan jika tanah tersebut adalah tanah milik PT. GMS bukan Tanah milik pemohon sehingga pelapor meras ditipu oleh pemohon, sedangkan pemohoan pada saat melakukan perjanjian dengna pelapor telah memperlihatkan legalitas kepemilikan pemohoan atas tanah tersebut kepada pelapor sehingga teradi kesepakatan perjanjian atara kedua belah pihak.
    • Bahwa jika tanah tersebut adalah milik PT. GMS maka sejatinya pelapor dalam perkara pokok permohonan ini adalah Manajemen PT. GMS oleh karena dhilangkan hakya bukan pelapor dalam hal ini Frans Salim Kalalo karena pelapor sampai saat ini masih menggunakan tanah milik pemohoan tersebut tanpa ada pelarangan atau ganguan dari pemohon akan tetapi pelapor tidak juga memberikan bayaran royalty kepada pemohon.
    • Bahwa temohon dalam menetapkan kasus ini sebagai kasus pidana penipuan dengan korban Frans Salim Kalalo adalah telah salah dan melanggar undang-undang oleh karena pelapor tidak memiliki legalstanding untuk melakukan pelaoran dan juga pelapor tidak memiliki kerugian apapun yang diakibatkan oleh pemohoan.

Berdasarkan perbuatan termohon yang telah semena-mena terhadap pemohon dapat dikatakan bahwa termohon telah melanggar Undang-Undang dan hak asasi manusia.

  1. Tentang tidak dilakukannya gelar dalam penetapan perbuatan pemohoan adalah perbuatan pidana.
    • Bahwa pemohoan dalam melakukan penetapan perbuatan pemohoan adalah merupakan perbuatan pidana tidak melalui mekanisme gelar perkara sehingga melanggar ketentuan undang-undang.
    • Bahwa berasarkan ketentuan pasal 9 PERKAP No. 6 Tahun 2019 yang berbunyi hasil penyeidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik , wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga : a. tindak pidana, b. bukan tindak pidana.”
    • Bahwa dalam perkara pelaporan frans salim kalalo tersebut sangat jelas berdasarkan perjanjian kerjasama pinjam lahan dan kesepakatan untuk tidak ada penghalangan ataupun pelarangan pengunaan tanah oleh pelapor dari pihak pemohoa atau masyarakat desa dengan kompensai royalty dan semua kesepakatan dalam perjanjian tersebut telah dilaksanakan oleh pemohoan dan sampai saat ini pelapor masih dengan leluassa menggunakan tanah pemohoan tersebut tanpa ada halangan dan gangguan dari pihak manapun baik itu dari pemohoan sendiri maupun dari pihak masyarakat atau keluarga pemohon sedangkan pelapor tidak melakukan pembayaran royalty kepada pemohoan sampai saat ini, sehingga pemohoan sangat jelas tidak melakukan tindak pidana penipuan sebagai mana yang dituduhkan.
    • Bahwa jika termohoan melakukan tindakan gelar perkara dengan benar dan tidak melanggar undang-undang maka perkara penipuan yang dituduhkan oleh pelapor kepada pemohon pastilah akan ditemukan atau akan mendapatkan rekomendasi jika perkara laporan aquo adalah bukan merupakan perkara pidana melainkan perkara perdata.
    • Bahwa berasarkan hal tersebut sangat jelas jika tindakan termohoan dalam menetapkan perbuatan pemohoan merupakan perbuatan pidana adalahtidak procedural dan telah melanggar undang-undang serta hak asasi manusia.

 

  1. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
  • Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan tindak pidana Penipuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Saksi, 1 keterangan ahli hukum, dan 1 dokumen perjanjian, hal ini berdasar pada surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor : S Tap/12/III/2023/Satreskrim tertnggal 20 Mare 2023.
  • Bahwa termohoan menetapkan tersangka kepada pemohon berdasarkan bukti perjanjian kerja sama antara pemohoan dan pelapor yang mana bukti tersebut tidak dilanggar satupun oleh pemohon sehingga dalam perkara aquo tidak ada tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon dan jika terdapat  pelanggaran yang dilakukan oleh pemohon dalam kesepakatan perjanjian tersebut maka seharusnya yang dilakukan oleh pelapor adalah melakukan gugatan wanprestasi di pengadilan negeri andoolo sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata “Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.”

wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena itu, wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat terlebih dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUH Perdata, yang pada prinsipnya membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUH Perdata juga telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam wanprestasi. Maka jika seseorang merasa telah dilanggar haknya dengan melawan hokum maka Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, Perbuatan Melawan Hukum timbul karena perbuatan seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Maka seharusnya termohon dalam melakukan gelar pekara dapat menentukan apakah laopran pemohoan adalah perbuatan pidana ataukah bukan perbuatan pidana.

  • Bahwa jika termohoan dalam menentukan pemohon sebagai tersangka berdasarkan surat kepemilikan dari pihak lain atas tanah yang dijadikan obyek perjanjian antara pelapor dan pemohon bukti tersebut tidak dapat dijadikan sebagai salah satu bukti dalam menentukan suatu tindak pidana oleh karena surat tersebut haruslah terlebih dahulu di uji di peradilan perdata untuk mengetahui siapa yang sebenarnya berhak atas tanah milik pemohon yang di akui oleh pihak lain tersebut. Akan tetapi hal tersebut belumlah dilakukan oleh pihak lain tersebut sehingga pemohoan masilah memiliki hak yang sah atas tanah yang menjadi obyek perjanjian pemohoan dan pelapor.
  • Bahwa oleh karena hal-hal tersebut maka 2 (dua) alat bukti yang sah yang dijadikan dasar dalam menetapkan tersangka kepada pemohon tidak terpenuhi dan bahkan tidak ada yang dapat dijadikan sebagai bukti tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sebagai mana yang disangkakan oleh termohon.
  • Berdasarkan hal tersebut perbuatan termohoan dalam menentukan sebagai tersangka kepada pemohoan adalah tidak sah dan melanggar ketentuan Undang-Undang serta hak asasi manusia.
    1. Tenang PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN.
  • Bahwa kerjasama pinjam lahan antara Pelapor dengan Pemohon dituangkan dalam bentuk Perjanjian tanggal 22 Maret 2021, dan Terhadap akta perjanjian tersebut telah memunculkan perikatan antar kedua belah pihak yang bersifat pos factum, yaitu fakta terjadi setelah peristiwa yang dilaporkan oleh pelapor. Untuk itu hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan.
  • Bahwa terdapat perbedaan antara Wanprestasi dan Penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata. Sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Melawan hak” di sini bisa dicontohkan memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dll.
  • Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara pemohon dengan pelapor diikat melalui perjanjian yang sama-sama beritikat baik untuk memenuhi perjanjian, tidak ada maksud melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, oleh karena pelapor sampai saat ini masih menikmati hasil dari perjanjian yang dibuat antara pelapor dan pemohoan dengan leluasa sampai saat ini akan tetapi pelapor tidak melakukan pembayaran royalty kepada pemohon dan justru menuduh pemohoan telah melakukan penipuan, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan Penipuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan.
  • Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal dalam dugaan Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
    1. Tentang penetapan tersangka yang tidak procedural terhadap Pemohon;
      • Bahwa penetapan pemohon sebagai tersangka oleh termohoan tidak berdasar hokum dan melanggar ketentuan undang-undang sebagaimana yang telah pemohoan uraikan diatas bahwa penetapan dilakukan berdasarkan laporan yang daiajukan oleh pihak yang tidak memeiliki legalstanding mengajukan laporan kepada pemohoan, penetapan tersangka tanpa dilakukannya gelar perkara untuk menentukan perbuatan yang dialoprkan oleh pelapor adalah perbuatan pidana ataukah perbuatan perdata, tidak dipenuhinya dua alat bukti oleh termohoan dalam menetapkan tersangka serta laporan pelapor teradap perbuatan pemohoan merupakan perbuatan perdata bukanlah perbuatan pidana,
      • Bahwa dengan dilanggarnya hal-hal tersebut maka penetapan tersangka terhadap diri pemohoan tidak benar dan melawan ketentuan undang-undang serta hak asasi manusia serta merupakan perbuatan semena-mena.
    2. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
  2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
  3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
  4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
  5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

–   ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

–   dibuat sesuai prosedur; dan

–   substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

 

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

  1. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
  • “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
  1. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas mohon dianggap sebagai satu kesatuan dengan dalil-dalil yang lainnya.

PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

  1. Menyatakan menerima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Penipuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polres Konawe Selatan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Andoolo, 27 Maret 2023

Hormat kami,

Kuasa Hukum

 

IBRAHIM TANE. SH.,MH                                                        BASRI, S.H.,M.Kn      

 

 

ISWAR ERTANTO, S.H.,                                                        RAITNO. SH.,M.Kn

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya